Di Kahyangan Suralaya, Bathara Guru sedang mengadakan pisowanan/pertemuan dengan para Dewa.
Bathara Guru tidak bisa memaafkan Pandhawa dan anak-anak nya, khususnya Wrekudara, Arjuna,Antasena,dan Wisanggeni.
Menurutnya Wrekudara, Antasena,Wisanggeni ( anak Arjuna ),tidak bisa menghormati para Dewa.
Mereka tidak mau memakai bahasa halus saat berbicara dengan para Dewa. Semua dianggap sama/setara sehingga bahasa yang dipakai untuk orang biasa disamakan dengan saat bicara dengan Dewa.
Mereka tidak mau memakai bahasa halus saat berbicara dengan para Dewa. Semua dianggap sama/setara sehingga bahasa yang dipakai untuk orang biasa disamakan dengan saat bicara dengan Dewa.
Arjuna meskipun bertutur bahasa halus ,
namun karena anaknya Wisanggeni tidak mengikuti dianggap salah dan juga harus di hukum.
Bathara Guru mengutus Bathara Narada dan Bathara Yamadipati untuk menangkap mereka, dan menghukumnya di jeburkan ke kawah Candradimuka untuk selama nya.
Narada sebenarnya membantah, karena Wrekudara , Arjuna ,dan anak - anak nya ksatria yang baik. Namun Bathara Guru bergeming, dan segera menyuruh Narada serta Yamadipati untuk turun ke bumi.
Guna menangkap dan memenjarakan mereka di kawah Candra Dhimuko.
Guna menangkap dan memenjarakan mereka di kawah Candra Dhimuko.
Dewa Srani raja kahyangan Setra gandha mayit/ Suratheleng anak Bathari Durga senang mendengar Pandhawa akan dihukum, dia pun mengerahkan pasukan jin dan setan nya memangsa anak - anak Pandhawa yang lain.
Baca juga :
Mboyong Taman Sriwedari
Baca juga :
Mboyong Taman Sriwedari
Narada dan Yamadipati sampai di Amartha, kebetulan para Pandhawa sedang berkumpul mengadakan pisowanan.
Bathara Narada mengungkapkan keinginan sang Bathara Guru.
Melihat yang datang bersama Narada, adalah Yamadipati ( dewa pencabut nyawa ) Wrekudara dan Arjuna tidak membantah dan bersedia dibawa ke Kahyangan untuk dihukum.
Nakula dan Sadewa bersedia menggantikan hukuman buat Antasena dan Wisanggeni, serta meminta Narada membawa nya.
Ke - empat nya pun dimasukkan Kendhaga
( Gucci ) untuk dibawa ke Kahyangan.
Dewi Kunthi Nalibratha ibunda para Pandhawa marah besar pada Punthadewa.
Sebagai putra tertua Punthadewa tidak melindungi adik-adik nya, membiarkan adik nya hendak disiksa.
Sang dewi sedih dan menangis, serta terus mencaci Punthadewa.
Prabu Punthadewa malu dan kecewa tak tega melihat ibunda nya sampai meneteskan air mata, juga Sang dewi yang selamanya berhati lembut bisa sampai murka.
Merasa bersalah, malu, dan sedih berkecamuk dalam hati Punthadewa.
Tiba - tiba badannya menggigil, keringat bercucuran pandangan nya kabur hilang kesadaran nya.
Ambruk dari singgasana berubah wujud jadi raksasa berkulit bule.
Para prajurit berhamburan keluar keraton ketakutan sang raja marah besar, berubah jadi raksasa sebesar gunung.
Dewa Amral / jelmaan Punthadewa berjalan menuju Klampis Ireng ( Karang Kadhempel ) sebuah desa yang dipimpin Ki lurah Semar Badranaya.
Warga Klampis Ireng sedang berkumpul bermain gamelan, menari bersuka ria.
Padukuhan / desa yang damai dan sejahtera, guyub - rukun warganya.
Suasana riang di Klampis Ireng berubah jadi kepanikan, terasa ada gempa yang semakin lama semakin besar.
Baca juga : Babad alas Wisamartha / Mertani
Baca juga : Babad alas Wisamartha / Mertani
Muncul dari kejauhan raksasa besar menuju Klampis Ireng, suara nya bergemuruh memanggil kyai Semar hentakan kakinya menyebabkan gempa.
Ki lurah Semar mencoba menenangkan warga nya dan menghampiri raksasa tersebut,meski anak - anaknya Gareng, Petruk, dan Bagong memperingatkan.
Hey.... Butho ( raksasa ) , ada apa gerangan datang ke kampung saya dan kok aneh kenal nama saya?
Ha...ha...ha... Semar, tidak usah pura - pura bertanya sebenarnya kamu tau siapa diriku?
Aku minta ijin mu, Kahyangan Suralaya mau aku obrak - abrik aku rusak Semar!
Eh... eh...e... salah apa para Dewa kok kahyangan mau dirusak hey...raksasa?
Dewa hendak menghukum Pandhawa dikawah Candradimuka selamanya, dan kini mereka sudah ditawan kyai!
Hemm...kurang ajar dewa momongan ku Pandhawa orang baik, ksatria berbudi luhur mau disiksa.
Aku ikut ayo gempur kahyangan sekarang raksasa!
Sesampainya di kahyangan, mengamuk dewa Amral. Taman, pepohonan, pelem ( mangga) pratangga jiwa di cabut di obrak - abrik. Dewa ketakutan kalah sakti tanding melawan Amral raksasa bule.
Kesempatan itu digunakan Arjuna, dengan keluar dari kendhaga dan masuk ke taman para bidadari.
Arjuna menggoda bidadari, memadu kasih.
Ketampanan Arjuna memang tidak hanya dikagumi wanita biasa,para dewi - dewi kahyangan pun tergoda.
Bathara Narada panik melihat kahyangan kacau balau, segera dia turun kembali ke bumi mencari jago.
Di temuinya raja Dwurawati Sri Kresna untuk meminta pertolongan.
Sebab Kresna yang titisan dewa Wisnu dianggap mampu memadamkan prahara.
Kresna menyanggupi dengan syarat, kendhaga yang berisi Pandhawa diberikan padanya jika berhasil mengalahkan dewa Amral.
Tidak ada pilihan lain, Sanghyang Narada menyetujui meski rencana Bathara Guru terancam gagal.
Kresna berubah jadi raksasa hitam bernama Balasrewu menuju Kahyangan Suralaya.
Sesampainya di sana bertemu lah dengan Dewa Amral yang hendak mengambil kendhaga.
Sama - sama menginginkan kendhaga antara Amral dan Balasrewu,keduanya pun bertempur.
Tak ada yang menang, tak ada yang kalah, sama saktinya. Saling terjang, saling banting.
Sampai saatnya kedua raksasa berubah menjadi Punthadewa dan Kresna.
Pertempuran pun usai dan mereka sepakat pulang ke Amartha.
Sesampainya di Amartha kekacauan terjadi, Antasena, Antareja, Gathotkaca,Wisanggeni perang melawan Dewa Srani dan pasukannya.
Pasukan Kurawa yang tau Pandhawa di tawan para Dewa pun mengambil kesempatan, menyerang Amartha.
Pasukan Dewa Srani,berhasil dikalahkan ksatria - ksatria muda anak para Pandhawa, yang dibantu Anoman dan Semar.
Dewi Durga dikalahkan oleh Semar.
Sementara Wrekudara yang baru keluar dari kendhaga geram melihat pasukan Kurawa.
Wrekudara mengamuk, Kartamarma pemimpin pasukan Kurawa digasak, di tendang.
Patih Sengkuni kaget melihat Wrekudara masih hidup dan mengamuk, membuat pasukan Kurawa lari tunggang langgang.
Kresna menghentikan amukan Wrekudara, dan menasehati bahwa belum saatnya perang Barathayuda.
Comments
Post a Comment